Pages

Kamis, 05 Agustus 2010

CINTA BISA BERSEMI DI MANA SAJA

CINTA BISA BERSEMI DI MANA SAJA

Tak seorang pun tahu di mana cinta akan bersemi. Ada kalanya, cinta kita temukan di tempat-tempat yang paling tak terduga. Dan tak ada yang lebih mengejutkan dibandingkan berseminya cinta di sebuah rumah sakit rehabilitasi di pinggiran Los Angeles—rumah sakit yang sebagian besar pasiennya sudah tak bisa bergerak dengan kemampuan mereka sendiri.
Ketika staf rumah sakit mendengar berita itu, beberapa perawat menangis. Administrator rumah sakit syok, tetapi kemudian Harry MacNarama selalu mensyukuri hari itu sebagai hari yang paling istimewa sepanjang hidupnya.
Sekarang masalahnya adalah gaun pengantin seperti apa yang harus mereka sediakan? Dia tahu stafnya pasti akan menemukan jalan keluarnya. Harry lega ketika salah satu perawat menyatakan siap membantu dengan sukarela. Dia ingin hari itu menjadi hari paling indah bagi 2 pasiennya---Juana dan Michael.
Pada suatu pagi, Michael, yang tubuhnya diikatkan pada kursi roda dan bernapas dengan bantuan ventilator, masuk ke kantor Harry.
“Harry, aku ingin menikah,” Michael mengumumkan.
“Menikah?” mulut Harry ternganga. Seriuskah pasiennya itu? “Dengan siapa?” Tanya Harry.
“Dengan Juana,” sahut Michael. “Kami saling mencintai.”
Cinta. Cinta masuk lewat pintu-pintu rumah sakit, merasuk ke dalam 2 raga yang sudah tak mampu bekerja sesuai kehendak pemiliknya, dan menembus hati mereka—meskipun kedua pasien itu sudah tak bisa makan atau berpakaian tanpa dibantu, meskipun mereka membutuhkan ventilator hanya untuk bernapas, dan mereka takkan bisa berjalan lagi. Michael menderita atropi otot punggung dan Juana menderita sklerosis ganda.
Bahwa gagasan untuk menikah itu memang serius, menjadi jelas ketika Michael menunjukkan cincin pertunangan dengan wajah berseri-seri. Sudah bertahun-tahun wajahnya tak pernah secerah itu. Michael, salah satu pasien yang paling sulit dan pemarah yang pernah dilayani staf Harry, kini berubah menjadi Michael yang lembut dan manis sikapnya.
Watak Michael yang sulit dan pemarah bisa dimengerti. Selama 25 tahun dia menghabiskan waktunya di pusat perawatan medis tempat ibunya menitipkannya sejak dia berumur 9 tahun. Sampai sebelum meninggal, ibunya selalu menjenguknya beberapa kali seminggu. Michael selalu bersikap kasar, selalu bersikap seenaknya kepada para perawatnya, tetapi setidak-tidaknya dia merasa punya keluarga di rumah sakit itu. Para pasien adalah kawan-kawannya.
Dia juga sangat dekat dengan Betty Vogle yang berumur 70 tahun, seorang relawan yang berhasil melunakkan hati Michael—itu bukan tugas yang mudah—dengan mencucikan pakaiannya dan selalu menemani pria itu kapan saja dia sempat.
Dulu, pernah ada seorang gadis yang kemana-mana menggunakan kursi roda yang berderit-derit bunyinya. Michael yakin, gadis itu naksir dia. Tetapi gadis itu tidak tinggal lama di pusat perawatan medis itu. Michael sendiri, setelah menghabiskan lebih dari setengah umurnya di sana, juga meninggalkan tempat itu.
Pusat perwatan medis itu ditutup. Michael dipindahkan ke rumah sakit rehabilitasi, jauh dari kawan-kawannya dan yang lebih gawat, jauh dari Betty.
Sejak itu, Michael menutup diri. Dia tak mau keluar dari kamarnya. Dia membiarkan kamarnya selalu gelap. Kakaknya, seorang wanita berambut merah yang penuh semangat hidup, semakin lama semakin prihatin. Begitu pula Betty, yang rela menyetir lebih dari 2 jam untuk menjenguknya. Tetapi semangat hidup Michael sudah hilang, tak seorang pun dapat membangkitkannya lagi.
Sampai pada suatu hari, ketika sedang berbaring di tempat tidur dia mendengar bunyi berderit-derit yang akrab di telinganya, datang mendekat dari arah lorong rumah sakit. Bunyi itu mirip derit kursi roda Juana, gadis yang pernah dikenalnya di pusat perawatan medis dulu.
Derit itu berhenti di depan pintu kamarnya. Juana melongok ke dalam, memanggilnya dan mengajaknya keluar ke halaman bersamanya. Michael penasaran dan bersedia. Dan sejak dia bertemu Juana lagi, wanita itu seakan-akan meniupkan kehidupan kembali ke dalam raganya.
Michael mau lagi memandang awan dan langit biru. Dia mulai mau berpartisipasi dalam program-program rekreasi yang diadakan rumah sakit. Dia menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol dengan Juana. Kamarnya kini segar dan penuh cahaya matahari. Akhirnya, dia bertanya kepada Juana, yang hidup di kursi roda sejak umur 24 tahun, apakah Juana mau menikah dengannya.
Juana telah mengalami hidup yang berat. Dia dikeluarkan dari sekolah sebelum menyelesaikan kelas 3 karena sering pingsan dan jatuh-jatuh. Ibunya, yang mengira dia malas, sering memukulinya. Dia hidup dalam ketakutan kalau-kalau ibunya tidak menginginkan dirinya lagi. Jadi bila sedang cukup sehat, Juana membersihkan ruma “seperti seorang pelayan cilik”.
Sebelum umur 24, seperti Michael, dia harus menjalani trakhetomi agar bisa bernapas dan ketika itulah secara resmi dokter mendiagnosa bahwa dia menderita sklerosis ganda. Ketika usianya 30 tahun, dia dipindahkan ke rumah sakit dengan perawatan 24 jam penuh.
Karenanya, ketika Michael mengajukan pertanyaan penting itu, Juana sadar dia takkan tahan menelan sakit hati bila pria itu hanya mempermainkannya.
“Dia bilang dia mencintaiku, tapi aku takut sekali,” kata Juana. “Kupikir dia mempermainkanku. Tetapi dia bilang dia sungguh-sungguh. Dia bilang dia mencintaiku.”
Pada hari Valentine, Juana mengenakan gaun pengantin dari satin putih yang dihiasi butir-butir mutiara dan modelnya cukup longgar untuk menutupi kursi roda dan ventilatornya. Juana didorong ke depan ruangan, didampingi Harry yang dengan bangga melepas calon pengantin itu. Wajah Juana basah oleh air mata.
Michael mengenak kemeja putih bersih, jas hitam, dan dasi kupu-kupu yang melekat rapi, menutupi trakhetominya. Wajahnya berbinar-binar bahagia.
Para perawat berdesakan di pintu-pintu. Para pasien memenuhi ruangan. Bahkan lorong-lorong dekat ruangan itu penuh dengan para pegawai rumah sakit. Isak tangis menggema di setiap sudut ruangan. Dalam sejarah rumah sakit itu, belum pernah ada pernikahan antara 2 manusia yang hidupnya terikat di kursi roda.
Janet Yamaguchi, kepala program rekreasi rumah sakit, mempersiapkan acara itu dengan sebaik-baiknya. Para pegawai menyumbangkan uang pribadi mereka untuk membeli balon merah dan putih, bunga-bunga warna senada, dan lengkungan-lengkungan yang dihiasi dengan dedaunan. Janet menyuruh kepala koki rumah sakit membuat kue pengantin 3 susun berisi lemon. Seorang konsultan pemasaran menyewa fotografer.
Janet bernegosiasi dengan para anggota keluarga. Itu adalah saat-saat paling melelahkan sekaligus memuaskan dalam hidupnya, saat ketika dia menyaksikan pasangan itu menikah.
Janet mempersiapkan semuanya dengan teliti.
Sentuhan terakhir—ciuman pengantin—tak dapat dilaksanakan. Janet mengikatkan kedua kursi roda pengantin baru itu dengan tali satin putih untuk melambangkan momen yang romantis.
Begitu upacara selesai, pendeta menyelinap keluar sambil menahan air mata. “Aku sudah memberkati ribuan pernikahan, tetapi ini yang paling menakjubkan,” katanya. “Kedua orang ini telah mengatasi rintangan dan menunjukkan cinta mereka yang murni.”
Malam itu Michael dan Juana berkursi roda ke kamar mereka. Untuk pertama kalinya mereka tinggal sekamar. Staf rumah sakit datang menyajikan 2 gelas sari apel yang berkilau agar pengantin baru itu bisa bersulang secara pribadi. Michael dan Juana tahu, bahwa mereka membuat banyak orang terharu melihat cinta mereka, bahwa mereka dianugerahi hadiah yang paling berharga. Mereka mendapatkan hadiah berupa cinta. Tak seorang pun tahu, di mana cinta akan bersemi.

Diana Chapman
Chicken Soup for The Couple’s Soul. 2005

Tidak ada komentar: