Pages

Kamis, 05 Agustus 2010

ASAP ROKOK, HIII…!!!!!



ASAP ROKOK, HIII…!!!!!

“Matikan rokokmu, atau rokok yang akan mematikanmu!” kata para dokter ahli paru-paru. Wah, begitu berbahayakah rokok?

Menabung Racun
Ketika rokok dibakar, asapnya akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia berbahaya. Salah satu bahan kimia yang sering disebut adalah nikotin. Nikotin tergolong sebagai zat padat, namun ukurannya kecil sekali. Perhatikanlah punting rokok yang ada gabusnya(filter). Sebelum diisap, gabus rokok itu berwarna putih. Setelah rokok habis diisap, warna gabus itu menjadi kuning kecokelatan. Warna kuning kecokelatan itu adalah nikotin.
Nikotin yang terhisap bersama asap rokok akan masuk dan bercampur dalam darah. Semakin banyak mengisap rokok, semakin banyak nikotin yang bertumpuk dalam darah dan akhirnya ikut mengalir ke seluruh tubuh.
Padahal nikotin itu racun. Karena sifat racunnya, nikotin juga sering digunakan sebagai obat pembasmi serangga. Maka, orang merokok itu bisa dikatakan sama dengan mengisap obat pembasmi serangga. Jadi, merokok sama dengan menabung racun dalam tubuh. Iiiiii…!!!

Pusing, mual, lemas, duh..!!
Rokok itu sama bahayanya dengan narkotika dan obat terlarang. Rokok membuat orang yang mengisapnya kecanduan. Orang jadi sulit berhenti, apalagi remaja-remaja yang mulai merokok pada usia dini akan lebih sulit lagi sebab pada masa itu remaja sedang mencari jati diri sehingga mudah mengikuti ajakan atau saran dari teman sebayanya. Kalau berhenti merokok, badan terasa lemas, sakit kepala, mual, sulit berpikir,.. duh!! Seperti itulah kalau sudah kecanduan.
Yang membuat orang kecanduan rokok adalah nikotin. Semakin lama merokok, semakin banyak nikotin yang menumpuk dalam darah. Jika orang berhenti merokok, jumlah nikotin dalam darah akan turun. Ketika nikotin dalam darah turun, perokok akan merasa tubuhnya tidak enak. Rasa tidak enak ini akan terus terasa sampai nikotin dalam darah habis. Kalau darah sudah tidak mengandung nikotin, tubuh pun kembali normal.
Sayangnya, banyak orang yang tidak kuat menahan rasa tidak enak itu sehingga mereka pun merokok lagi. Semakin lama, si perokok semakin bergantung pada rokok. Si perokok pun semakin sulit menghentikan kebiasaan merokoknya. Seringkali kita mendengar ada orang yang bilang begini, “Lebih baik saya tidak makan daripada tidak merokok.” Nah, orang itu pasti sudah kecanduan rokok.

Tolong, jangan merokok disini!!
Yang paling dirugikan oleh asap rokok sesungguhnya bukan si perokok saja. Kita yang berada di sekitarnya pun terpaksa mengisap asapnya dan kemasukan racunnya. Menurut penelitian, jumlah asap yang tidak diisap ternyata 10 kali lebih banyak dari asap yang diisap. Orang yang merokok sebenarnya hanya mengisap sedikit asap rokok. Sisa asap yang mengepul di udara akan terisap oleh siapa saja yang berada di dekat si perokok.
Karena jumlah asap yang dibuang lebih banyak daripada yang diisap, maka jumlah racun pada asap yang dibuang pun lebih banyak. Kalau si perokok itu berada di dekat kita, maka kita akan mengisap lebih banyak racun dan asap daripada si perokok itu.
Tapi, ada pula yang berpikir, kalau begitu lebih baik langsung merokok saja. Wah, wah, wah, tidak bisa begitu. Bagaimanapun, memasukkan asap rokok ke dalam paru-paru sangaaatttt berbahayaa…!!! Selain membuat kecanduan, si perokok mudah terserang TBC, kanker paru, kanker kerongkongan, juga kanker saluran pernafasan yang lain.
Kalau kita berada dalam ruangan yang penuh asap rokok selama 1 jam, kita sama saja dengan mengisap 35 batang rokok. Bisa bayangkan berapa banyak racun yang menumpuk di dalam tubuh??? Jadi, kita harus berani berkata, “Tolong, jangan merokok disini!” dan bagi teman-teman yang sudah berkecimpung dalam “dunia merokok” segeralah berhenti sebelum terlambat.

Disadur dari:
Majalah Bobo Edisi 07 Thn XXXII


Didedikasikan untuk:

My Beloved Father
Teman2 yg tidak merokok
Teman2 yg perokok mania
Almarhum ayah temanku yang meninggal karena kanker paru

Read More......

SESEORANG UNTUK DIMILIKI

SESEORANG UNTUK DIMILIKI

Setiap ibu ingin melihat putrinya bahagia dan dicintai. Dan setiap gadis ingin hidup bahagia selama-lamanya. Maka sungguh berat bagiku dan bagi Jackie, anakku, ketika dia menjadi orangtua tunggal. Kami harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya tidak “seindah” yang kami bayangkan.
Dan seakan hidupnya belum cukup berat, Jackie memutuskan untuk pindah membawa Kristopher, anaknya yang berumur 2 tahun, untuk mulai hidup baru. Meskipun kepindahannya akan memisahkan kami bermil-mil jauhnya serta membuatku akan sangat merindukannya dan Kristopher, aku tahu anakku telah membuat keputusan yang tepat.
Jackie seorang perawat, dia mendapat pekerjaan dinas malam di rumah sakit lokal. Lama-kelamaan dia akrab dengan seorang pria muda. “Dia hebat, Bu,” Jackie melapor. Suaranya terdengar wajar, tetapi aku tidak percaya. Apa sebenarnya niat laki-laki itu terhadap anakku? Apakah dia akan mau menerima anak Jackie? Apakah dia akan memperlakukan Jackie dengan lembut dan penuh cinta, atau apakah dia hanya akan menambah carut luka di hatinya? Aku berusaha keras mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan itu dari pikiranku, tapi tak bisa. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku.
Kemudian, sesuatu yang paling ditakuti orangtua dan kakek-nenek terjadi: Kristopher sakit parah. Dia menangis dan mengeluh kakinya sakit setiap kali dia digendong atau kaki itu tersentuh. Setelah melewati beberapa hari penuh penderitaan, dokter-dokter mendiagnosa penyakitnya—osteomyelitis, infeksi tulang. Penyakit itu berbahaya dan infeksinya sudah menyebar. Agar bisa segera dioperasi, Kristopher harus segera dirawat di rumah sakit.
Setelah operasi, Kristopher dibawa kembali ke kamarnya dan diinfus. Selang-selang dimasukkan dan dikeluarkan dari pinggulnya yang kecil untuk mengalirkan obat ke lukanya dan membuang cairan. Tetapi, walaupun mendapat obat-obatan cair dan antibiotik, suhu tubuhnya tetap tinggi. Berat badannya menyusut. Dia tak punya nafsu makan dan wajahnya kuyu.
Dokter-dokter memberitahu kami bahwa Kristopher harus dioperasi sekali lagi untuk menghentikan infeksinya. Sekali lagi tubuhnya harus menjalani prosedur yang menyakitkan itu. Setelah itu, Kristopher dibaringkan di ranjang, banyak sekali selang yang dihubungkan ke tubuhnya, hingga dia tak bisa dipindahkan, diangkat, digendong, atau dibuai-buai dalam pelukan ibunya.
Setiap malam waktu Jackie harus kembali bekerja, aku mengendarai mobilku bermil-mil jauhnya untuk menjenguk Kristopher. Aku tidak bisa lama menemaninya, karena untuk pulang aku harus menyetir selama beberapa jam. Setiap kali aku bersiap untuk pergi, Kristopher menangis, “Nenek, jangan pergi. Kalau nenek pergi, aku takkan punya siapa-siapa untuk dimiliki.” Dan setiap kali pula, hatiku pedih mendengar permohonannya. Tetapi, bagaimanapun pula aku harus pergi. Lalu kubisikkan padanya bahwa aku mencintainya dan berjanji akan datang kembali.
Pada suatu malam, ketika mendekati kamar cucuku di rumah sakit untuk menjenguknya, aku mendengar seseorang berbicara dengan Kristopher. Suaranya seperti suara lelaki dewasa. Ketika semakin dekat, aku bisa mendengar suara itu dengan lebih jelas—suara yang tegas namun lembut, yang bicara kepada Kristopher dengan nada menghibur. Siapa yang sedang bicara kepada cucuku dengan nada seperti itu? Aku menebak-nebak.
Aku masuk ke kamar dan apa yang kulihat membuatku kaget sekali.
Pria muda yang sering diceritakan putriku sedang berbaring di ranjang kanak-kanak. Tubuhnya yang 6 kaki melengkung sekecil mungkin; punggungnya yang lebar menekan jeruji ranjang; lengannya yang panjang memeluk Kristopher; menimangnya seakan menimang sesuatu yang berharga.
Pria muda itu mengangkat wajahnya, memandangku, dan tersenyum lebar; senyum yang menyiratkan penjelasan. Lalu dia berkata lirih, “Anak kecil butuh dipeluk dan dibelai. Karena kami tak boleh mengeluarkannya dari ranjang ini, aku memutuskan masuk ke sini dan memeluknya.”
Air mata bahagia membasahi mataku. Aku tahu, doaku dikabulkan Tuhan. Putriku telah menemukan seorang pria berhati lembut dan penuh kasih. Harapan Kristopher juga dikabulkan: akhirnya, dia mempunyai “seseorang untuk dimiliki.”
Sekarang umur Kristopher 20 tahun dan telah sembuh sama sekali. Kekasih putriku, John yang berhati lembut itu, menjadi ayah tiri paling baik yang bisa dibayangkan oleh seorang bocah laki-laki.

Maxine M. Davis
Chicken Soup for The Couple’s Soul. 2005

Read More......

LEGENDA TENTANG CINTA

LEGENDA TENTANG CINTA

Edward Wellman mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya di negerinya yang lama untuk mencari hidup yang lebih baik di Amerika. Ayahnya memberinya uang simpanan keluarga yang disembunyikan di dalam kantong kulit. “Di sana keadaan sulit,” katanya sambil memeluk putranya dan mengucapkan selamat jalan. “Kau adalah harapan kami.” Edward naik ke kapal lintas Atlantik yang menawarkan transport gratis kepada pemuda-pemuda yang mau bekerja menjadi penyekop batu bara sebagai imbalan ongkos pelayaran selama sebulan. Kalau Edward menemukan emas di Pegunungan Colorado, keluarganya akan menyusul.
Berbulan-bulan Edward mengolah tanahnya tanpa kenal lelah. Urat emas yang tidak besar memberinya penghasilan yang pas-pasan namun teratur. Setiap hari ketika pulang ke pondoknya yang terdiri atas 2 kamar, Edward merindukan dan sangat ingin disambut oleh wanita yang dicintainya. Satu-satunya yang disesalinya ketika menerima tawaran untuk mengadu nasib ke Amerika adalah terpaksa meninggalkan Ingrid sebelum secara resmi punya kesempatan mendekati gadis itu. Sepanjang ingatannya, keluarga mereka sudah lama berteman dan selama itu pula diam-diam dia berharap bisa memperistri Ingrid. Rambut Ingrid yang ikal panjang dan senyumnya yang menawan membuatnya menjadi putri keluarga Henderson yang paling cantik. Edward baru sempat duduk di sampingnya dalam acara-acara piknik jemaat gereja dan mengarang alasan-alasan konyol untuk singgah di rumah gadis itu agar bisa bertemu dengannya. Setiap malam sebelum tidur di kabinnya, Edward ingin sekali membelai rambut Ingrid yang pirang kemerahan dan memeluk gadis itu. Akhirnya, dia menyurati ayahnya, meminta bantuannya untuk mewujudkan impiannya.
Kira-kira setahun kemudian, sebuah telegram datang mengabarkan rencana untuk membuat hidup Edward menjadi lengkap. Pak Henderson akan mengirimkan putrinya kepada Edward di Amerika. Putrinya itu suka bekerja keras dan mempunyai intuisi bisnis. Dia akan bekerja sama dengan Edward selama setahun dan membantunya mengembangkan bisnis penambangan emas. Diharapkan, setelah setahun itu keluarganya akan mampu datang ke Amerika untuk menghadiri pernikahan mereka.
Hati Edward sangat bahagia. Dia menghabiskan satu bulan berikutnya untuk mengubah pondoknya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Dia membeli ranjang sederhana untuk tempat tidurnya di ruang duduk dan menata bekas kamar tidurnya agar pantas untuk seorang wanita. Gorden dari bekas karung goni yang menutupi kotornya jendela diganti dengan kain bermotif bunga dari bekas karung terigu. Di meja samping tempat tidur dia meletakkan wadah kaleng berisi bunga-bunga kering yang dipetiknya di padang rumput.
Akhirnya, tibalah hari yang sudah dinanti-nantikannya sepanjang hidup. Dengan tangan membawa seikat bunga daisy segar yang baru dipetik, dia pergi ke stasiun kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Edward melihat ke setiap jendela, mencari senyum dan rambut ikal Ingrid. Jantungnya berdebar kencang penuh harap, kemudian terentak karena kecewa. Bukan Ingrid, tapi Marta kakaknya, yang turun dari kereta api. Gadis itu berdiri malu-malu di depannya, matanya menunduk.
Edward hanya bisa memandang terpana. Kemudian, dengan tangan gemetar diulurkannya buket bunga itu kepada Marta. “Selamat datang,” katanya lirih, matanya menatap nanar. Senyum tipis menghias wajah Marta yang tidak cantik. “Aku senang ketika ayah mengatakan kau ingin aku datang ke sini,” kata Marta, sambil sekilas memandang mata Edward sebelum cepat-cepat menunduk lagi. “Aku akan mengurus bawaanmu,” kata Edward dengan senyum terpaksa. Bersama-sama mereka berjalan ke kereta kuda.
Pak Henderson dan ayahnya benar. Marta memang punya intuisi bisnis yang hebat. Sementara Edward bekerja di tambang, dia bekerja di kantor. Di meja sederhana di sudut ruang duduk, dengan cermat Marta mencatat semua kegiatan di tambang. Dalam waktu 6 bulan, asset mereka telah berlipat dua.
Masakannya yang lezat dan senyumnya yang tenang menghiasi pondok itu dengan sentuhan ajaib seorang wanita. Tetapi bukan wanita ini yang kuinginkan, keluh Edward dalam hati, setiap malam sebelum tidur kecapekan di ruang duduk. Mengapa mereka mengirim Marta? Akankah dia bisa bertemu lagi dengan Ingrid? Apakah impian lamanya untuk memperistri Ingrid harus dilupakannya?
Setahun lamanya Marta dan Edward bekerja, bermain, dan tertawa bersama, tetapi tak pernah ada ungkapan cinta. Pernah sekali, Marta mencium pipi Edward sebelum masuk ke kamarnya. Pria itu hanya tersenyum canggung. Sejak itu, kelihatannya Marta cukup puas dengan jalan-jalan berdua menjelajahi pegunungan atau dengan mengobrol di beranda setelah makan malam.
Pada suatu sore di musim semi, hujan deras mengguyur punggung bukit, membuat jalan masuk ke tambang mereka longsor. Dengan kesal Edward mengisi karung-karung pasir dan meletakkannya sedemikian rupa untuk membelokkan arus airnya. Badannya lelah dan basah kuyup, tetapi tampaknya usaha itu sia-sia. Tiba-tiba Marta muncul di sampingnya, memegangi karung goni yang terbuka. Edward menyekop dan memasukkan pasir ke dalamnya, kemudian dengan tenaga sekuat lelaki, Marta melemparkan karung itu ke tumpukab lalu membuka karung lainnya. Berjam-jam mereka bekerja dengan kaki terendam lumpur setinggi lutut, sampai hujan reda. Dengan berpegangan tangan mereka berjalan pulang ke pondok. Sambil menikmati sup panas, Edward mendesah, “Aku takkan dapat menyelamatkan tambang itu tanpa dirimu. Terima kasih.”
“Sama-sama,” gadis itu menjawab sambil tersenyum tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia masuk ke kamarnya.
Beberapa hari kemudian, sebuah telegram datang mengabarkan bahwa keluarga Henderson dan keluarga Wellman akan tiba minggu berikutnya. Meskipun berusaha keras menutup-nutupinya, jantung Edward kembali berdebar-debar seperti dulu karena harapan akan bertemu lagi dengan Ingrid.
Dia dan Marta pergi ke stasiun kereta api. Mereka melihat keluarga mereka turun dari kereta api di ujung peron. Ketika Ingrid muncul, Marta menoleh kepada Edward. “Sambutlah dia,” katanya. Dengan kaget, Edward berkata tergagap, “Apa maksudmu?”
“Edward, sudah lama aku tahu bahwa aku bukan putri Henderson yang kau inginkan. Aku memperhatikan bagaiman kau bercanda dengan Ingrid dalam acara-acara piknik jemaat gereja.” Dia mengangguk ke arah adiknya yang sedang menuruni tangga kereta. “Aku tahu bahwa dia, bukan aku, yang kau inginkan menjadi istrimu.”
“Tapi…”
Marta meletakkan jarinya pada bibir Edward. “Ssstt,” bisiknya. “Aku mencintaimu, Edward. Aku selalu mencintaimu. Karena itu, yang ku inginkan hanya melihatmu bahagia. Sambutlah adikku.”
Edward mengambil tangan Marta dari wajahnya dan menggenggamnya. Ketika Marta menengadah, untuk pertama kalinya Edward melihat betapa cantiknya gadis itu. Dia ingat ketika mereka berjalan-jalan di padang rumput, ingat malam-malam tenang yang mereka nikmati di depan perapian, ingat ketika Marta membantunya mengisi karung-karung pasir. Ketika itulah dia menyadari apa yang sebenarnya selama berbulan-bulan telah diketahuinya.
“Tidak, Marta. Engkaulah yang kuinginkan.” Edward merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan mengecupnya dengan cinta yang tiba-tiba membuncah di dalam dadanya. Keluarga mereka berkerumun mengelilingi mereka dan berseru-seru, “Kami datang untuk menghadiri pernikahan kalian!”

LeAnn Thieman
Chicken Soup for The Couple’s Soul. 2005

Read More......

CINTA BISA BERSEMI DI MANA SAJA

CINTA BISA BERSEMI DI MANA SAJA

Tak seorang pun tahu di mana cinta akan bersemi. Ada kalanya, cinta kita temukan di tempat-tempat yang paling tak terduga. Dan tak ada yang lebih mengejutkan dibandingkan berseminya cinta di sebuah rumah sakit rehabilitasi di pinggiran Los Angeles—rumah sakit yang sebagian besar pasiennya sudah tak bisa bergerak dengan kemampuan mereka sendiri.
Ketika staf rumah sakit mendengar berita itu, beberapa perawat menangis. Administrator rumah sakit syok, tetapi kemudian Harry MacNarama selalu mensyukuri hari itu sebagai hari yang paling istimewa sepanjang hidupnya.
Sekarang masalahnya adalah gaun pengantin seperti apa yang harus mereka sediakan? Dia tahu stafnya pasti akan menemukan jalan keluarnya. Harry lega ketika salah satu perawat menyatakan siap membantu dengan sukarela. Dia ingin hari itu menjadi hari paling indah bagi 2 pasiennya---Juana dan Michael.
Pada suatu pagi, Michael, yang tubuhnya diikatkan pada kursi roda dan bernapas dengan bantuan ventilator, masuk ke kantor Harry.
“Harry, aku ingin menikah,” Michael mengumumkan.
“Menikah?” mulut Harry ternganga. Seriuskah pasiennya itu? “Dengan siapa?” Tanya Harry.
“Dengan Juana,” sahut Michael. “Kami saling mencintai.”
Cinta. Cinta masuk lewat pintu-pintu rumah sakit, merasuk ke dalam 2 raga yang sudah tak mampu bekerja sesuai kehendak pemiliknya, dan menembus hati mereka—meskipun kedua pasien itu sudah tak bisa makan atau berpakaian tanpa dibantu, meskipun mereka membutuhkan ventilator hanya untuk bernapas, dan mereka takkan bisa berjalan lagi. Michael menderita atropi otot punggung dan Juana menderita sklerosis ganda.
Bahwa gagasan untuk menikah itu memang serius, menjadi jelas ketika Michael menunjukkan cincin pertunangan dengan wajah berseri-seri. Sudah bertahun-tahun wajahnya tak pernah secerah itu. Michael, salah satu pasien yang paling sulit dan pemarah yang pernah dilayani staf Harry, kini berubah menjadi Michael yang lembut dan manis sikapnya.
Watak Michael yang sulit dan pemarah bisa dimengerti. Selama 25 tahun dia menghabiskan waktunya di pusat perawatan medis tempat ibunya menitipkannya sejak dia berumur 9 tahun. Sampai sebelum meninggal, ibunya selalu menjenguknya beberapa kali seminggu. Michael selalu bersikap kasar, selalu bersikap seenaknya kepada para perawatnya, tetapi setidak-tidaknya dia merasa punya keluarga di rumah sakit itu. Para pasien adalah kawan-kawannya.
Dia juga sangat dekat dengan Betty Vogle yang berumur 70 tahun, seorang relawan yang berhasil melunakkan hati Michael—itu bukan tugas yang mudah—dengan mencucikan pakaiannya dan selalu menemani pria itu kapan saja dia sempat.
Dulu, pernah ada seorang gadis yang kemana-mana menggunakan kursi roda yang berderit-derit bunyinya. Michael yakin, gadis itu naksir dia. Tetapi gadis itu tidak tinggal lama di pusat perawatan medis itu. Michael sendiri, setelah menghabiskan lebih dari setengah umurnya di sana, juga meninggalkan tempat itu.
Pusat perwatan medis itu ditutup. Michael dipindahkan ke rumah sakit rehabilitasi, jauh dari kawan-kawannya dan yang lebih gawat, jauh dari Betty.
Sejak itu, Michael menutup diri. Dia tak mau keluar dari kamarnya. Dia membiarkan kamarnya selalu gelap. Kakaknya, seorang wanita berambut merah yang penuh semangat hidup, semakin lama semakin prihatin. Begitu pula Betty, yang rela menyetir lebih dari 2 jam untuk menjenguknya. Tetapi semangat hidup Michael sudah hilang, tak seorang pun dapat membangkitkannya lagi.
Sampai pada suatu hari, ketika sedang berbaring di tempat tidur dia mendengar bunyi berderit-derit yang akrab di telinganya, datang mendekat dari arah lorong rumah sakit. Bunyi itu mirip derit kursi roda Juana, gadis yang pernah dikenalnya di pusat perawatan medis dulu.
Derit itu berhenti di depan pintu kamarnya. Juana melongok ke dalam, memanggilnya dan mengajaknya keluar ke halaman bersamanya. Michael penasaran dan bersedia. Dan sejak dia bertemu Juana lagi, wanita itu seakan-akan meniupkan kehidupan kembali ke dalam raganya.
Michael mau lagi memandang awan dan langit biru. Dia mulai mau berpartisipasi dalam program-program rekreasi yang diadakan rumah sakit. Dia menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol dengan Juana. Kamarnya kini segar dan penuh cahaya matahari. Akhirnya, dia bertanya kepada Juana, yang hidup di kursi roda sejak umur 24 tahun, apakah Juana mau menikah dengannya.
Juana telah mengalami hidup yang berat. Dia dikeluarkan dari sekolah sebelum menyelesaikan kelas 3 karena sering pingsan dan jatuh-jatuh. Ibunya, yang mengira dia malas, sering memukulinya. Dia hidup dalam ketakutan kalau-kalau ibunya tidak menginginkan dirinya lagi. Jadi bila sedang cukup sehat, Juana membersihkan ruma “seperti seorang pelayan cilik”.
Sebelum umur 24, seperti Michael, dia harus menjalani trakhetomi agar bisa bernapas dan ketika itulah secara resmi dokter mendiagnosa bahwa dia menderita sklerosis ganda. Ketika usianya 30 tahun, dia dipindahkan ke rumah sakit dengan perawatan 24 jam penuh.
Karenanya, ketika Michael mengajukan pertanyaan penting itu, Juana sadar dia takkan tahan menelan sakit hati bila pria itu hanya mempermainkannya.
“Dia bilang dia mencintaiku, tapi aku takut sekali,” kata Juana. “Kupikir dia mempermainkanku. Tetapi dia bilang dia sungguh-sungguh. Dia bilang dia mencintaiku.”
Pada hari Valentine, Juana mengenakan gaun pengantin dari satin putih yang dihiasi butir-butir mutiara dan modelnya cukup longgar untuk menutupi kursi roda dan ventilatornya. Juana didorong ke depan ruangan, didampingi Harry yang dengan bangga melepas calon pengantin itu. Wajah Juana basah oleh air mata.
Michael mengenak kemeja putih bersih, jas hitam, dan dasi kupu-kupu yang melekat rapi, menutupi trakhetominya. Wajahnya berbinar-binar bahagia.
Para perawat berdesakan di pintu-pintu. Para pasien memenuhi ruangan. Bahkan lorong-lorong dekat ruangan itu penuh dengan para pegawai rumah sakit. Isak tangis menggema di setiap sudut ruangan. Dalam sejarah rumah sakit itu, belum pernah ada pernikahan antara 2 manusia yang hidupnya terikat di kursi roda.
Janet Yamaguchi, kepala program rekreasi rumah sakit, mempersiapkan acara itu dengan sebaik-baiknya. Para pegawai menyumbangkan uang pribadi mereka untuk membeli balon merah dan putih, bunga-bunga warna senada, dan lengkungan-lengkungan yang dihiasi dengan dedaunan. Janet menyuruh kepala koki rumah sakit membuat kue pengantin 3 susun berisi lemon. Seorang konsultan pemasaran menyewa fotografer.
Janet bernegosiasi dengan para anggota keluarga. Itu adalah saat-saat paling melelahkan sekaligus memuaskan dalam hidupnya, saat ketika dia menyaksikan pasangan itu menikah.
Janet mempersiapkan semuanya dengan teliti.
Sentuhan terakhir—ciuman pengantin—tak dapat dilaksanakan. Janet mengikatkan kedua kursi roda pengantin baru itu dengan tali satin putih untuk melambangkan momen yang romantis.
Begitu upacara selesai, pendeta menyelinap keluar sambil menahan air mata. “Aku sudah memberkati ribuan pernikahan, tetapi ini yang paling menakjubkan,” katanya. “Kedua orang ini telah mengatasi rintangan dan menunjukkan cinta mereka yang murni.”
Malam itu Michael dan Juana berkursi roda ke kamar mereka. Untuk pertama kalinya mereka tinggal sekamar. Staf rumah sakit datang menyajikan 2 gelas sari apel yang berkilau agar pengantin baru itu bisa bersulang secara pribadi. Michael dan Juana tahu, bahwa mereka membuat banyak orang terharu melihat cinta mereka, bahwa mereka dianugerahi hadiah yang paling berharga. Mereka mendapatkan hadiah berupa cinta. Tak seorang pun tahu, di mana cinta akan bersemi.

Diana Chapman
Chicken Soup for The Couple’s Soul. 2005

Read More......